Cerita Menakutkan - Bang Togar dan Gadis kecilnya
Cerita seram yang satu ini adalah kisah nyata. Diceritakan oleh seorang pemuda dari Medan. Saat itu, aku sedang berwisata ke Danau Toba. Nama dan beberapa tempat disamarkan untuk menjaga privasi orang yang bersangkutan.
Waktu itu, aku bertemu dengan dia di kapal menuju desa Tuktuk. Dia duduk di sebelahku. Mataku langsung tertuju pada boneka barbie yang tergantung di tas ranselnya. Keningku berpikir, wajah pria ini sangat sangar, tetapi bermain dengan boneka barbie. Yang sudah terbalik nya dunia ini? Pikirku waktu itu. Jadi kuberanikan bertanya, kenapa cowok 20 tahun masih bermain dengan Boneka Barbie.
Ini Cerita Menakutkan oleh Togar
Ada kuburan kecil persis di depan kosku - sekitar 2 meter setelah pintu kamar. Kuburan yang bagian atasnya disemen setinggi 10 sentimeter ke atas. Kalau ku ukur di dalam hati, mungkin ukuran kuburan itu sekitar 1 meter kali 50 sentimeter.
Dapatlah disimpulkan bahwa orang yang terkubur di sana adalah anak-anak.
Sebelum aku bercerita lebih banyak kepadamu. Karena kau bilang kau penikmat cerita hantu dan juga merupakan penulis blog. Sebaiknya kuceritakan dulu satu sedikit mengenai diriku dan hal mengenai keadaan di sekitar kos ku di kota Medan.
Namaku adalah Togar dan aku mahasiswa semester 3 jurusan Tataboga di universitas rahasia di kota Medan.
Rumah kos tempat tinggalku hanya satu lantai. Rumah itu memiliki kamar dengan pintu langsung ke halaman. Kamar kos itu memanjang. Dan kamarku adalah nomor 9, dan paling ujung, dan paling dekat dengan sungai keruh tempat pabrik karet membuang sisa produksinya.
Beberapa kali dalam seminggu, pabrik itu akan membuang sisa produksi. Dan itu bau sekali. Tapi, karena aku sudah terbiasa, terkadang aku sudah melupakan bau itu. Bila teman satu kelasku berkunjung ke kos, aku baru mengingatnya setelah melihat mereka menutup hidung sembunyi-sembunyi untuk menjaga perasaanku.
Bang Simbolon, penjaga kos, pernah bercerita kepadaku perihal kuburan kecil di depan kos. Kalau tidak salah tanggal 18 Juli 2015, hari pertama aku pindah dari rumah saudaraku ke kos tersebut.
"Bah, kemarin tak kulihat ini Bang!" ucapku kaget setelah melihat kuburan itu. Ketika aku mencari kos dua hari sebelumnya, mereka menutupi kuburan itu dengan meja dan kursi rusak. Sial sekali kurasa, padahal sudah sempat kubayar.
"Iya kemarin tertutup meja sepertinya," Jawab Bang Simbolon sambil membuang muka.
"Apa nya maksud kau Bang? Bilang aja kemarin kalian sembunyikan ini dariku, iya kan?" Tanyaku mendesak.
"Sumpah Demi Tuhan, Lae Togar, aku tidaklah seperti itu. Lupa aku memberitahu kemarin."
"Kalau begitu, kembalikan saja uangku. Aku tidak berani tinggal di kos ini. Masa jarak kuburan dengan pintu kosku hanya dua meter. Yang benar saja."
"Ah, kau ini macam bukan orang Batak. Penakut sekali. Itu cuma kuburan anak-anak. Lagipula, transaksi sudah tidak bisa dibatalkan. Uang sudah kusetor sama pemilik rumah ini. Kalau kau takut tinggalkan saja. Tapi, uang sudah tidak bisa ditarik dari majikan."
"Ah, sial kali kau ini. Kau yang macam bukan orang Batak. Ngeri kali kelakuan kau, Bah. Sama-sama orang Batak nya kita Bang. Macam tak tau saja kau susahnya orang tua mencari uang...,"
Marah besar aku malam itu. Tapi, Bang Simbolon itu bukan orang yang gampang menyerah. Untuk membuatku tenang, ia membeli sebungkus rokok dan satu teko tuak. Malam itu, dia berjanji akan menemaniku tidur di kos selama seminggu pertama, supaya aku terbiasa.
"Kuburan siapa nya itu Bang?" Tanyaku suatu malam saat kami menonton tv di kamarku.
"Kencing dulu aku yah!" Pergilah dia keluar, karena kamar mandi tidak di dalam kamar. Tapi, anehnya saat dia berdiri matanya seperti melirik ke belakangku. Wajahnya ketakutan.
"Aku yang tinggal di situ Bang Togar!" Tiba-tiba seseorang berbicara dari belakangku. Suara itu sangat tipis dan tinggi, seperti suara kucing.
Kuputar kepalaku untuk melihat siapa yang bicara. Tapi, tidak ada orang. Aku belum pernah gemetaran sehebat itu seumur hidup. Maaf kata, celanaku sampai basah. Larilah aku ke luar kamar sambil berteriak memanggil Bang Simbolon. Tapi, orang itu tidak menjawab. Kucari dia ke kamar penjaga kos. Kamar itu sudah kosong.
Lututku seolah akan patah, kupaksa berjalan. Penghuni kos lain tidak ada yang keluar dari kamar meskipun aku sudah berteriak memanggil Bang Simbolon.
Karena takut mengganggu orang lagi beristirahat. Akhirnya, kuberanikan diriku untuk masuk kembali ke kamar dan duduk bersandar pada dinding. Pikirku, aku harus bisa melihat 100% isi kamarku, jadi aku duduk di pojok.
Kupasang telingaku fokus-fokus, siapa tahu ada suara lagi. Tapi, sampai jam dua belas malam sudah tidak ada suara. Akhirnya, kutarik kasurku mentok ke dinding. Lalu aku tidur sambil berjaga-jaga. Suara itu sudah tidak ada.
Besoknya, aku marah besar kepada Bang Simbolon. Dia bilang minta maaf karena setelah dari kamar mandi, dia teringat ada janji sama ceweknya jadi dia buru-buru pergi menjumpai ceweknya itu. Waktu aku cerita mengenai suara itu, dia tidak percaya.
Dua malam berikutnya, Bang Simbolon tidak tidur di kamarku lagi. Tetapnya jam 12 lewat sepuluh menit. Aku sedang berusaha untuk tidur, selalu susah tidur sejak aku tinggal di kamar itu. Telingaku selalu fokus dan tidak ada suara apapun selain suara sungai di sebelah kiri kos.
Aku pun mulai ngantuk, saat mataku sudah berat dan otakku sudah setengah tidur, tiba-tiba aku mendengar suara pelan. Suara anak perempuan yang sepertinya sedang menangis. Awalnya, kupikir itu suara anak seorang penghuni kos. Karena beberapa hari yang lalu, aku pernah melihat seorang kakak keluar dari salah satu kamar memegang tangan anak perempuan sembilan tahunan. Aku tersenyum kepada mereka waktu itu tapi orang-orang di sini memang sangat dingin, tidak pernah mau menyapa dan membalas senyuman.
Anehnya, suara bocah menangis itu kok semakin jelas yah! Dan sepertinya itu tidak jauh. Aku sudah gemetar, mau berdiri tidak tahu harus kemana, mau terus berbaring sudah tidak kuat sangking takutnya.
"Aku sedih sekali lah Bang Togar!" Tiba-tiba seseorang mengusap kepalaku sambil berbicara. Itu suara anak yang kemarin.
"Aaarg," aku langsung bangkit berdiri dan hampir terjatuh menimpa tv 24 inch. Kakiku goyah, bola mataku kasar berkeliling mencari sosok yang berbicara itu.
Anehnya, suara tangis itu semakin keras, dan suara itu berasal persis dari sebelah kiriku. Buru-buru, aku membuka pintu.
"Bang Togar jahat, bang Togar Jahat!" Suara tangis itu berubah menjadi marah.
Apa maksudnya berkata kalau aku jahat! Aku berdiri mematung di depan pintu, mengintip ke dalam kamar.
Tv tiba-tiba hidup. Suara tangis bocah itu masih terdengar seperti terisak.
Ku beranikan diriku untuk bertanya, meskipun aku merasa agak bodoh, "Siapa kamu?" tanyaku tegas.
"Aku Dinda, Bang Togar. Itu kuburan-ku. Maaf kau tidak bisa melihatku."
"Dinda?" Suaraku terdengar seakan aku akan segera pingsan.
"Iya, Dinda. Ibuku membunuhku dua puluh tahun yang lalu. Dia meninggalkanku sendirian di sini sampai aku mati kelaparan. Dulu ini adalah kamar aku dan ibu. bu Ariana yang punya kos ini dulu tinggal di kamar Bang Simbolon. Aku sering bermain bersama dia. Tapi, waktu ibuku pergi, dia sudah pindah ke Jakarta. Saat dia tahu kalau aku meninggal di sini. Dia menyuruh Bang Simbolon menguburku di sini. Bang Togar maaf yah kalau aku cengeng. Aku hanya kesepian. Waktu aku berbicara bang Togar takut setengah mati. Jadi dua hari ini aku menutup mulut tapi aku tidak tahan lagi, rasanya sepi sekali."
Aku tersentuh mendengar ceritanya - yang sudah bisa kupastikan 'hantu seorang bocah perempuan'. Kuingat-ingat juga perjalanan hidupku, dari kecil sudah tidak punya ayah. Masuklah aku ke dalam kamar dan duduk kembali di kasurku, meskipun masih takut-takut tapi ratusan kali aku berkata pada diriku sendiri kalau hantu bocah itu tidaklah jahat.
Jadi, boneka barbie yang kugantungkan di tas ransel itu adalah sebagai penanda kalau aku selalu menemani Dinda. Aku mengajaknya kemanapun aku pergi - Kalau malam, ia terkadang bisa menggerakkan rambut boneka barbie itu sedikit.
Ditulis Oleh: Togar Raja Silaen/ ttm:Medan, 28 September 2018 - Memilih Tidak Menjawab