Cerita Horor - Kuntilanak Cantik Balas Dendam
Namaku Sinta, aku tinggal di sebuah desa di Indonesia. Kupikir tidak ada gunanya menyebutkan nama Desaku. Tidak akan ada yang bisa menolongku kecuali kematian.
Sejak mengetahui kalau ada beberapa website yang menerima curhatan seperti ini. Aku mulai berpikir untuk mengirimkan kisahku. Meskipun, awalnya ragu karena tentu saja, hal ini bisa membuat keadaan semakin kacau. Apalahi kalau suamiku tahu.
Rumah tempatku tinggal berada di sebuah perbukitan. Di sini hanya ada sepuluh rumah. Kami petani Nanas dengan penghasilan sekitar 15 – 20 juta per bulan.
Satu dari sepuluh rumah di desa ini sudah kosong. Rumah paling ujung sebelum kebun Nenas yang cukup luas sudah kosong. Rumah kecil dengan seng yang sudah robek-robek itu dulu ditempati oleh seorang gadis yang bisa dibilang ada kurang-kurangnya. Maksudku kemampuan berpikir nya dibawah rata-rata. Dia gadis yang jorok dan tidak peduli pada dirinya sendiri. Namun, dibalik kulitnya yang berdaki itu dia adalah gadis paling cantik yang pernah kulihat. Meskipun, ia hanya makan nasi dan buah-buahan yang dicuri dari kebun warga tapi ia memiliki postur tubuh yang bagus dan rambut hitam yang sehat.
Namanya Sisilia. Orang desa menyebutnya, bidadari gila.
Sisilia sebenarnya bukan anak dari salah satu penduduk desa atau anak dari siapapun di sekitar desa kami. Sekitar sepuluh tahun yang lalu ketika usianya masih 22 tahun, ia tiba-tiba saja menampakkan diri di desa. Ia tidur di kebun orang. Meskipun sudah diusir beberapa kali tapi, Sisilia sepertinya tidak punya tempat lain untuk pergi. Bila suamiku mengusirnya, ia akan pindah ke kebun orang dan tidur di gubuknya.
Hampir satu tahun dia hidup berkeliaran dan meresahkan warga desa. Hingga akhirnya, orang desa sepakat untuk membuatkan rumah sederhana untuknya. Warga desa juga mendaftarkan sisilia untuk mendapatkan BLT (bantuan langsung tunai) dari pemerintah setiap bulan. Aku sendiri yang membelikan peralatan-nya, aku membeli kompor gas, lemari, sapu, tikar dan kasur menggunakan uangku sendiri. Sejak ia muncul di desa, aku tidak tega melihatnya seperti binatang. Aku langsung membayangkan bagaimana kalau nanti anak gadisku yang mengalami hal seperti itu. Setiap hari, sambil berangkat ke ladang aku selalu menyempatkan diri untuk mengintip keadaan rumanya yang memang tidak pernah terkunci. Kadang aku memarahi-nya dan memaksanya untuk mandi.
Perhatian-ku kepada Sisilia mengubah dirinya. Ia menjadi lebih bersih. Ia menjadi pendiam, tidak lasak berlarian ke ladang-ladang orang. Ia bahkan sudah mau mencuci bayunya sendiri. Saat itulah aku menyadari kecantikan Sisilia yang luar biasa. Kulitnya berwarna putih langsat, bola matanya besar dan hidungnya mancung.
Ia masih tetap gila dan terkadang tertawa sendiri. Dia adalah gadis yang baik walaupun gila. Dia tidak suka berbicara kasar dan sangat menghormati-ku. Ia selalu menuruti apapun yang kukatakan. Lambat laun, ia seolah menganggap-ku seperti kakak kandungnya. Ia sering tiba-tiba muncul di halaman rumahku.
Dia gadis gila yang kesepian.
Gadis gila tetapi memiliki hasrat kepada kaum lelaki.
Usiaku dan Sesilia kurasa hanya beda sedikit. Aku lebih tua sekitar tiga tahun.
Awalnya, aku tidak keberatan bila dia datang main-main ke rumahku. Kebetulan anak gadisku yang masih SD suka bermain dengan dia. Tapi, ada kalanya dia datang hanya memakai celana dalam yang robek dan bh yang tidak benar cara pakai-nya.
Seperti kubilang sebelumnya, dia cantik, kulit dan rambutnya bagus. Aku tidak menyalahkan suamiku yang sering mengamatinya ketika dia kumat, berlarian tanpa baju di sekitar desa.
Aku percaya pada suamiku, kalau dia masih punya otak. Dia tidak mungkin tertarik pada wanita itu meskipun dia cantik, karena dia itu gila. Kalaupun suamiku sering memperhatikannya kurasa itu wajar, karena aku juga sering memperhatikan kecantikannya.
Di bawah desa kami, sekitar 2 km ada desa lain yang lebih ramai. Setiap hari minggu, aku sering turun ke sana untuk arisan. Bulan Maret 2020 kemarin, aku turun ke desa itu untuk arisan. Tapi setelah sampai di sana, entah kenapa kepalaku sangat pusing. Akhirnya, aku memutuskan untuk pulang.
Sampai di rumah, suamiku tidak ada. Kutanya anak-anakku, mereka bilang tidak mengetahui dimana ayah mereka berada. Aku pergi ke warung kopi, tidak ada siapapun di sana. Kupikir suamiku pasti pergi ke kecamatan dengan teman-temannya untuk main sepak bola. Dan dia baru kembali setelah jam enam.
“Darimana saja?” Tanyaku
“Biasa, nongkrong disungai. Mancing!”
Oh, pikirku. “Mana ikannya?”
“Mana ada. Gak jago aku mancing. Pak Sabran yang dapat lima ikan mas gede, tapi pelit, kuminta satu gak di kasih”
Aku tertawa mendengar cerita bodoh suamiku itu sekaligus agak kasihan.
Selama tiga minggu berturut-turut, warung kedai di desaku pada hari minggu selalu sepi. Awalnya, kupikir orang-orang desa terutama kaum bapak sudah kecanduan mancing ikan. Tapi setelah satu bulan selalu sepi di hari minggu aku mulai curiga. Aku memutuskan untuk menelusuri sungai pada hari minggu dan tidak ada seorang pun yang mancing di sana.
Aku mulai curiga kalau ada sesuatu yang tidak beres. Pada hari minggu berikutnya aku pamit untuk turun arisan ke desa bawah. Tetapi aku tidak pergi, aku bersembunyi di belakang rumah. Lima menit setelah aku keluar. Suamiku keluar dari rumah dan berjalan tergesa-gesa ke ujung desa. Aku masuk ke semak-semak, mengikuti langkah suamiku.
Apa yang kulihat sangat mengejutkan. Suamiku masuk ke rumah Sisilia. Jantung-ku panas seolah akan meledak. Hal yang paling mengejutkan, aku mengintip ke rumah sisilia dan menemukan 6 Bapak-bapak di sana tanpa baju bersama Sisilia.
Hari itu aku berteriak-teriak berlari ke desa. Semua ibu-ibu keluar dari rumah, bahkan dalam waktu satu jam orang dari desa bawah juga muncul di desa kami. Suamiku, bersama bapak-bapak yang lain dibawah ke kantor kepala desa.
Hari itu aku berjanji pada diriku sendiri kalau aku akan mengusir Sisilia dari kampung itu. Aku hendak mengajak ibu-ibu lain untuk mengusirnya. Tapi, ternyata amarahku belum seberapa dibanding amarah istri dan anak-anak teman suamiku. Mereka sudah berkumpul di halaman rumah Sisilia. Mereka menumpahkan minyak ke dinding rumahnya dan membakar gadis itu hidup-hidup di sana.
Sampai sekarang, setelah empat bulan lebih, aku terkadang masih bisa mendengar suara histeris Sisilia. Aku masih ingat bagaimana ia berusaha keluar dari pintu rumahnya dengan sekujur tubuhnya penuh api. Aku masih ingat ketika dia terjatuh, menatap mataku sambil mengangkat tangannya seperti minta tolong. Tapi, aku tidak melakukan apapun. Aku hanya menonton saja dan pulang ke rumah.
Aku sudah tidak akur dengan suamiku sejak dia ketahuan berselingkuh dengan orang gila. Aku tidak sudi tidur dengannya. Meskipun ia sudah menyembah kakiku ribuan kali sambil menangis minta maaf, aku belum bisa memaafkan-nya. Yang paling membuatku marah bukan hanya karena dia tidak setia. Tetapi, karena ia tidak memperdaya orang gila hingga gadis itu kehilangan nyawa. Bagiku, yang membunuh SISILIA bukan hanya ibu-ibu dan anak-anak yang marah itu. Tetapi, suami kamilah yang telah membunuhnya begitu keji. Aku tidak mau tidur dengan seorang pembunuh.
Pada Bulan April lebih dari dua puluh orang anak kecil berumur 12 tahun ke bawah meninggal di desa kami dan di desa bawah. Mereka meninggal setelah demam tinggi.Seorang anak telah dilarikan ke rumah sakit di provinsi, tapi dokter tidak bisa menemukan penyakitnya, anak itu juga meninggal.
Pada Bulan Mei, tidak ada satupun anak kecil yang masih tersisa di desa kami, kecuali tiga orang anakku, Melda, Toni dan Ciko yang ketiganya berumur di bawah 12 tahun.
Aku sudah sering melihat Sisilia berjalan di sekitar desa pada malam hari. Tubuhnya menghitam, perutnya bolong dan ia selalu menggendong orok yang hangus. Aku selalu menunduk tidak berani menatapnya. Ia tidak pernah mengganggu-ku dan selalu membiarkan-ku lewat. Terkadang tengah malam, aku mendengar seseorang menangis di belakang rumah, memanggil kakak. “Kakak kenapa kau biarkan mereka membakar-ku? Kenapa kak. Aaaarg, panas panas!” Teriaknya. Awalnya, kupikir hanya aku saja yang mendengarnya tapi setelah anak-anakku berlari ke kamarku, aku baru sadar kalau mereka juga mendengarnya. Anehnya hanya kami berempat saja yang mendengar, aku dan ketiga anakku.
Beberapa dokter mengunjungi desa kami dan melakukan penyelidikan, termasuk dokter dari luar negeri tetapi tidak satupun yang mengetahui apa penyebab anak-anak sakit dan meninggal.
Hingga pada awal bulan juni, aku pulang dari kebun jam enam sore dan melewati depan rumah Sisilia yang sudah hangus lebih dari separuh itu. Aku seperti mendengar suara orang berlari di dalam rumah. Keningku berkerut. Siapa yang berani masuk ke rumah itu? Pikirku.
Aku berjalan pelan-pelan mendekat dan mengintip ke dalam. Rupanya di dalam rumah itu ada lebih dari 20 orang ibu dan bapak. Mereka mengikat ketika anakku di tiang rumah yang sudah terbakar.
Aku melemparkan biji nenas yang kujingjing di kepala. Berlari cepat menabrak pintu untuk melepaskan anakku. Tapi, orang-orang itu langsung menangkap tanganku.
“Kenapa anakmu tidak diambil? Kenapa anakmu tidak mati? Kau juga ikut bersalah. Sisilia, apakah kau tidak melihat wanita ini saat kau terbakar hidup-hidup. Dia yang telah menyumbangkan minyak tanah itu kepadaku. Dia yang bilang kita harus membakar gadis itu hidup-hidup,” ucap tetanggaku berbohong. Aku gementar mencoba menarik tanganku sekuat tenaga. Tetapi orang-orang itu tidak melepaskan-ku. Ketika anakku menangis kuat.
Hal yang paling membakar hatiku adalah fakta bahwa suamiku tidak melakukan apapun untuk menyelamatkan anaknya. Ia menangis di pojok ruangan, tidak terikat dan tidak ditahan oleh siapapun. Malam itu mereka membakar ketiga anakku di depan mataku dan baru melepaskan tubuhku.
Awal bulan juli, 8 ibu rumah tangga di desaku bunuh diri dan 5 suaminya ikut bunuh diri. 14 ibu rumah tangga di desa bawah bunuh diri dan 10 suaminya bunuh diri. Desaku menjadi sepi, tinggal aku, suamiku dan 3 orang duda seperti mayat yang tidak punya tujuan hidup. Aku butuh pertolongan.