Cerita Seram - Gadis Berseragam SMP di Kampung Atas
Namaku Andini.
Jarak Rumah dengan SMP terdekat di kampungku hampir 18 km. Setiap pagi, aku harus berangkat jam 5 saat matahari belum terbit, hanya dengan cahaya lampu senter seadanya. Terkadang bila aku lupa mengisi ulang batrenya, senter itu mati di tengah jalan.
Ibuku selalu berkata, "Bila ada anak perempuan berseragam SMP turun dari kampung atas dan ingin berjalan denganmu, jangan mau! Bila dia menyapa jangan menyapa balik. Bila dia menghampirimu berjalanlah lebih cepat dan jangan melihat wajahnya!"
Di kampungku ada lima belas rumah. Dari kelima belas rumah itu hanya aku saja yang melanjutkan sekolah sampai SMP. Sisanya bekerja di ladang dan bahkan ada yang sudah menikah. Kampung atas itu berada di atas bukit, pertengahan jalan dari rumah ke sekolah. Aku tidak pernah ke sana. Orang tuaku pun tidak pernah mau cerita mengenai kampung itu kepadaku. Katanya, "pantang!" Itu saja jawabnya bila aku bertanya.
Karena ibu selalu menasehatiku"Bila ada anak perempuan berseragam SMP turun dari kampung atas dan ingin berjalan denganmu, jangan mau! Bila dia menyapa jangan menyapa balik. Bila dia menghampirimu berjalanlah lebih cepat dan jangan melihat wajahnya!"
Setiap pagi saat aku berangkat sekolah, aku selalu menoleh ke jalan menuju kampung atas itu. Jalannya sedikit mendaki dan hanya ditutupi batu cadas besar-besar.
Sampai semester dua kelas satu, setiap pagi, setiap lewat, aku menoleh ke sana. Aku takut bila tiba-tiba ada anak perempuan berseragam SMP muncul dan mengajak jalan bareng. Aku takut dia akan menyapa atau mengajak jalan bareng dan aku harus menolak. Takut dia akan sakit hati dan berpikir kalau aku sombong. Aku tidak mau melanggar satu-satunya permintaan ibu yang selalu diucapkannya setiap pagi.
Aku pernah bertanya temanku di sekolah, mengenai desa itu.
"Katakan apapun yang kau ketahui mengenai kampung atas itu!" Pintaku kepada Laras teman satu mejaku yang kampungnya juga tidak terlalu jauh dari kampung atas tapi berbeda jalan.
"Kata Ibuku kampung itu sudah dikutuk. Semua penduduknya sakit kusta dan itu menular. Kurasa ibumu melarangmu karena takut kau akan tertular."
Jawaban Laras itu cukup masuk akal dan membuatku sedikit lebih tenang. Hingga selama sebulan lamanya, aku tidak terlalu mengingat hal itu meskipun ibu setiap pagi selalu mengingatkanku. Tapi, setelah aku melangkah sepuluh meter dari rumah aku sudah melupakannya.
Pada bulan November tahun 2019, tepatnya hari Senin, aku berangkat ke sekolah sedikit lebih pagi karena hari itu aku akan bertugas sebagai pembawa bendara saat upacara. Ketua kelas meminta supaya petugas upcara sudah harus sampai jam enam untuk latihan terlebih dahulu. Mau tidak mau, aku bangun jam tiga pagi dan sudah berangkat jam empat pagi.
Tidak ada yang paling kutakuti selain melewati jalan yang bersebelahan dengan kuburan umum sekitar 2 km dari desa. Biasanya, aku selalu berjalan cepat di sana, tidak melirik kemanapun tetapi melihat tanah. Saat ada suara aneh seperti ranting pohon yang terjatuh, aku tetap tidak mengarahkan senter kemana-mana tetapi terus fokus pada jalan.
Setelah berjalan hampir satu jam, aku tiba di simpang tiga, lurus ke depan adalah jalan menuju sekolah, sementara belok ke kanan adalah jalan menuju kampung atas. Tiba-tiba, saat aku tidak peduli lagi pada persimpangan itu, suara langkah orang sedang berlari terdengar. Aku langsung gemetar dan berjalan lebih cepat tanpa menoleh ke arah jalan itu.
Suara tap, tap, tap, sepatu seseorang semakin mendekat ditambah nafas berat seolah kelelahan.
Aku terus berjalan semakin cepat.
“Andini, tunggu!” Suara itu muncul dari belakang, sekitar satu meter.
Bulu tanganku berdiri, leherku setegang kawat. Jalan masih gelap, mungkin masih jam lima kurang.
“Andini, tunggu!” Suara itu terdengar begitu dekat seolah bibir orang yang berbicara tepat di belakang leherku.
Tiba-tiba, kaki bersepatu hitam melangkah di dekatku. Kuangkat wajahku untuk menoleh, gadis itu seumuran denganku, ia berjalan cepat seolah persis sepertiku, tapi kepalanya menunduk, rambut panjangnya menutupi wajah.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya? Kenapa dia berjalan seperti itu? Aku teringat kata ibu supaya tidak melihat wajahnya dan menganggap dia tidak ada.
Aku tetap berjalan berusaha untuk hanya menatap jalan. “Andini...,” Tiba-tiba ia berbicara seperti berbisik.
Aku semakin gemetaran. Kenapa anak itu begitu menakutkan? Ada apa dengannya pikirku?
“Andini...!” Ia kembali berbisik
Aku sudah tidak tahan. Aku ingin berteriak dan menyuruh gadis itu berhenti menyebut namaku. Aku menatap wajahnya
Dia memutar kepalanya dan tersenyum kepadaku. Wajah itu sangat aneh, senyum itu seperti palsu.
“Kau penasaran ingin melihat kampung atas kan?” Ia bertanya, nada suaranya datar, seperti suara nenek-nenek tapi wajahnya remaja sepertiku.
“Pergilah, ibuku melarangku untuk berbicara dengan orang asing.”
“Aku bukan orang asiiiiiing” Tiba-tiba dia berteriak, suaranya menggelegar seperti augan harimau. Matanya berubah merah seperti mendidih dan terjatuh di wajahnya. Dia bukan manusia...
“Aaaaarg.” Aku berteriak, kakiku sangkut tidak bisa bergerak. “Aaaaarg,” Wajahnya mendekat, jantungku berdenyut teramat cepat.
Aku terjatuh di jalan, kepalaku kram dan semuanya tiba-tiba menjadi sangat gelap.
***
Kepalaku pusing. Aku membuka mata dan ternyata matahari hampir terbit. Dimana ini? Tempat itu begitu asing. Aku belum pernah melihat tempat ini.
“Aaaarg.” Aku berdiri gemetar. Aku berada di kuburan tua. Di semak belukar, ribuan nisan busuk berdiri hampir roboh. Aku tidak tahu harus berlari kemana.
Tiba-tiba, suara seseorang menangis terdengar. Aku memutar tubuh. Mataku terbelalak, bukankah itu gadis smp yang mengikutiku tadi? Pikirku.
Dia terus menangis, membelakangiku.
“Andini, aku Arlini. Dan ini rumahku.”
Apa maksudnya? Rumahnya? Kuburan yang tidak terurus ini rumahnya?
“Ini adalah kampung Atas.”
Mataku terbelalak, ratusan anak-anak berwajah dekil tiba-tiba keluar dari semak belukar. Aku mundur, tiba-tiba seorang anak remaja pria berpakaian SMP mendorongku kuat, aku terjatuh ke atas kuburan. Mereka semua mengelilingku, “Aaaarg, Toloooong,” Aku berteriak sekuat tenaga.
Gadis itu berjalan mendekat. Ia duduk jongkok di sebelah wajahku. “Selamat datang di kampung atas!” Bisiknya sambil tersenyum. Tangannya yang putih pucat tiba-tiba menyentuh keningku.
“Andini. Apakah kau tidak mengingatku sedikitpun? Waktu kamu berusia lima tahun, aku selalu mengendongmu kemana-mana. Aku Arlini kakakmu.”
Jantungku berdebar-debar, sekujur tubuhku tegang. Aku melihat Ibuku berjalan tergesa-gesa membawa jerigen.
“Ibu!” Aku berteriak memanggilnya. Tapi ia tidak mendengar. Aku berusaha mengejar dan menangkap tangannya tapi tidak bisa. Ibu berjalan cepat menuju sebuah sekolah berdinding papan yang tidak dicat. Ia membuka pintu, aku mengintip ke dalam kelas. Di sana ratusan anak smp dengan tubuh dipenuhi kusta terbaring tidak berdaya.
Ibu menyiram anak-anak itu dengan minyak.
“Ibu apa yang kau lakukan?” Teriakku.
“Ibu hentikaaaan!”
Dia tidak mendengarku. Dia sibuk menyiramkan minyak ke dinding sekolah.
“Apa yang kau lakukan?” Aku berusaha mengambil korek api yang dipengangnya.
Tangan ibu gemetaran. Ia memantik korek api itu dan membakar gedung sekolah. Menghanguskan semua anak-anak itu. Jeritan kesakitan terdengar dimana-mana. Aku berlari menjauh.
***
Andini bangkit dan berlari cepat, berlari menjauh. Mereka menatapnya dari jauh. Terkadang Andini terjatuh. Ia bangkit lagi. Hingga akhirnya Ia sampai di jalan besar menuju sekolah. Ia berlari dan berlari hingga akhirnya sampai di sekolah. Pandangannya benar-benar sudah kabur, beberapa anak berseragam SMP berlari menghampirinya. Seseorang memegang tangannya, suara-suara mereka terdengar tidak jelas.
Jam sepuluh pagi, Wakil kepala sekolah mengantar Andini pulang naik sepeda motor.
“Istirahat dulu Bapak!” Ucap ibu pada Wakil kepala sekolah itu.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya harus mengajar lagi. Cepat sehat yah, Andini!” jawab wakil kepala sekolah.
Setelah motornya meninggalkan rumah. Ibu duduk menatap wajah Andini. “Apa yang terjadi Nak?” Ia bertanya.
Andini tidak menjawab.
“Andini, Apa yang terjadi?”
“Aku Arlini, Bu.” Jawab Andini.
“Maaaaaa....Aku di sini Maa.... Aku disini....” Aku berteriak sambil berusaha menyentuh ibuku, tapi ia tidak bisa melihatku.
Jarak Rumah dengan SMP terdekat di kampungku hampir 18 km. Setiap pagi, aku harus berangkat jam 5 saat matahari belum terbit, hanya dengan cahaya lampu senter seadanya. Terkadang bila aku lupa mengisi ulang batrenya, senter itu mati di tengah jalan.
Ibuku selalu berkata, "Bila ada anak perempuan berseragam SMP turun dari kampung atas dan ingin berjalan denganmu, jangan mau! Bila dia menyapa jangan menyapa balik. Bila dia menghampirimu berjalanlah lebih cepat dan jangan melihat wajahnya!"
Di kampungku ada lima belas rumah. Dari kelima belas rumah itu hanya aku saja yang melanjutkan sekolah sampai SMP. Sisanya bekerja di ladang dan bahkan ada yang sudah menikah. Kampung atas itu berada di atas bukit, pertengahan jalan dari rumah ke sekolah. Aku tidak pernah ke sana. Orang tuaku pun tidak pernah mau cerita mengenai kampung itu kepadaku. Katanya, "pantang!" Itu saja jawabnya bila aku bertanya.
Karena ibu selalu menasehatiku"Bila ada anak perempuan berseragam SMP turun dari kampung atas dan ingin berjalan denganmu, jangan mau! Bila dia menyapa jangan menyapa balik. Bila dia menghampirimu berjalanlah lebih cepat dan jangan melihat wajahnya!"
Setiap pagi saat aku berangkat sekolah, aku selalu menoleh ke jalan menuju kampung atas itu. Jalannya sedikit mendaki dan hanya ditutupi batu cadas besar-besar.
Sampai semester dua kelas satu, setiap pagi, setiap lewat, aku menoleh ke sana. Aku takut bila tiba-tiba ada anak perempuan berseragam SMP muncul dan mengajak jalan bareng. Aku takut dia akan menyapa atau mengajak jalan bareng dan aku harus menolak. Takut dia akan sakit hati dan berpikir kalau aku sombong. Aku tidak mau melanggar satu-satunya permintaan ibu yang selalu diucapkannya setiap pagi.
Aku pernah bertanya temanku di sekolah, mengenai desa itu.
"Katakan apapun yang kau ketahui mengenai kampung atas itu!" Pintaku kepada Laras teman satu mejaku yang kampungnya juga tidak terlalu jauh dari kampung atas tapi berbeda jalan.
"Kata Ibuku kampung itu sudah dikutuk. Semua penduduknya sakit kusta dan itu menular. Kurasa ibumu melarangmu karena takut kau akan tertular."
Jawaban Laras itu cukup masuk akal dan membuatku sedikit lebih tenang. Hingga selama sebulan lamanya, aku tidak terlalu mengingat hal itu meskipun ibu setiap pagi selalu mengingatkanku. Tapi, setelah aku melangkah sepuluh meter dari rumah aku sudah melupakannya.
Pada bulan November tahun 2019, tepatnya hari Senin, aku berangkat ke sekolah sedikit lebih pagi karena hari itu aku akan bertugas sebagai pembawa bendara saat upacara. Ketua kelas meminta supaya petugas upcara sudah harus sampai jam enam untuk latihan terlebih dahulu. Mau tidak mau, aku bangun jam tiga pagi dan sudah berangkat jam empat pagi.
Tidak ada yang paling kutakuti selain melewati jalan yang bersebelahan dengan kuburan umum sekitar 2 km dari desa. Biasanya, aku selalu berjalan cepat di sana, tidak melirik kemanapun tetapi melihat tanah. Saat ada suara aneh seperti ranting pohon yang terjatuh, aku tetap tidak mengarahkan senter kemana-mana tetapi terus fokus pada jalan.
Setelah berjalan hampir satu jam, aku tiba di simpang tiga, lurus ke depan adalah jalan menuju sekolah, sementara belok ke kanan adalah jalan menuju kampung atas. Tiba-tiba, saat aku tidak peduli lagi pada persimpangan itu, suara langkah orang sedang berlari terdengar. Aku langsung gemetar dan berjalan lebih cepat tanpa menoleh ke arah jalan itu.
Suara tap, tap, tap, sepatu seseorang semakin mendekat ditambah nafas berat seolah kelelahan.
Aku terus berjalan semakin cepat.
“Andini, tunggu!” Suara itu muncul dari belakang, sekitar satu meter.
Bulu tanganku berdiri, leherku setegang kawat. Jalan masih gelap, mungkin masih jam lima kurang.
“Andini, tunggu!” Suara itu terdengar begitu dekat seolah bibir orang yang berbicara tepat di belakang leherku.
Tiba-tiba, kaki bersepatu hitam melangkah di dekatku. Kuangkat wajahku untuk menoleh, gadis itu seumuran denganku, ia berjalan cepat seolah persis sepertiku, tapi kepalanya menunduk, rambut panjangnya menutupi wajah.
Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya? Kenapa dia berjalan seperti itu? Aku teringat kata ibu supaya tidak melihat wajahnya dan menganggap dia tidak ada.
Aku tetap berjalan berusaha untuk hanya menatap jalan. “Andini...,” Tiba-tiba ia berbicara seperti berbisik.
Aku semakin gemetaran. Kenapa anak itu begitu menakutkan? Ada apa dengannya pikirku?
“Andini...!” Ia kembali berbisik
Aku sudah tidak tahan. Aku ingin berteriak dan menyuruh gadis itu berhenti menyebut namaku. Aku menatap wajahnya
Dia memutar kepalanya dan tersenyum kepadaku. Wajah itu sangat aneh, senyum itu seperti palsu.
“Kau penasaran ingin melihat kampung atas kan?” Ia bertanya, nada suaranya datar, seperti suara nenek-nenek tapi wajahnya remaja sepertiku.
“Pergilah, ibuku melarangku untuk berbicara dengan orang asing.”
“Aku bukan orang asiiiiiing” Tiba-tiba dia berteriak, suaranya menggelegar seperti augan harimau. Matanya berubah merah seperti mendidih dan terjatuh di wajahnya. Dia bukan manusia...
“Aaaaarg.” Aku berteriak, kakiku sangkut tidak bisa bergerak. “Aaaaarg,” Wajahnya mendekat, jantungku berdenyut teramat cepat.
Aku terjatuh di jalan, kepalaku kram dan semuanya tiba-tiba menjadi sangat gelap.
***
Kepalaku pusing. Aku membuka mata dan ternyata matahari hampir terbit. Dimana ini? Tempat itu begitu asing. Aku belum pernah melihat tempat ini.
“Aaaarg.” Aku berdiri gemetar. Aku berada di kuburan tua. Di semak belukar, ribuan nisan busuk berdiri hampir roboh. Aku tidak tahu harus berlari kemana.
Tiba-tiba, suara seseorang menangis terdengar. Aku memutar tubuh. Mataku terbelalak, bukankah itu gadis smp yang mengikutiku tadi? Pikirku.
Dia terus menangis, membelakangiku.
“Andini, aku Arlini. Dan ini rumahku.”
Apa maksudnya? Rumahnya? Kuburan yang tidak terurus ini rumahnya?
“Ini adalah kampung Atas.”
Mataku terbelalak, ratusan anak-anak berwajah dekil tiba-tiba keluar dari semak belukar. Aku mundur, tiba-tiba seorang anak remaja pria berpakaian SMP mendorongku kuat, aku terjatuh ke atas kuburan. Mereka semua mengelilingku, “Aaaarg, Toloooong,” Aku berteriak sekuat tenaga.
Gadis itu berjalan mendekat. Ia duduk jongkok di sebelah wajahku. “Selamat datang di kampung atas!” Bisiknya sambil tersenyum. Tangannya yang putih pucat tiba-tiba menyentuh keningku.
“Andini. Apakah kau tidak mengingatku sedikitpun? Waktu kamu berusia lima tahun, aku selalu mengendongmu kemana-mana. Aku Arlini kakakmu.”
Jantungku berdebar-debar, sekujur tubuhku tegang. Aku melihat Ibuku berjalan tergesa-gesa membawa jerigen.
“Ibu!” Aku berteriak memanggilnya. Tapi ia tidak mendengar. Aku berusaha mengejar dan menangkap tangannya tapi tidak bisa. Ibu berjalan cepat menuju sebuah sekolah berdinding papan yang tidak dicat. Ia membuka pintu, aku mengintip ke dalam kelas. Di sana ratusan anak smp dengan tubuh dipenuhi kusta terbaring tidak berdaya.
Ibu menyiram anak-anak itu dengan minyak.
“Ibu apa yang kau lakukan?” Teriakku.
“Ibu hentikaaaan!”
Dia tidak mendengarku. Dia sibuk menyiramkan minyak ke dinding sekolah.
“Apa yang kau lakukan?” Aku berusaha mengambil korek api yang dipengangnya.
Tangan ibu gemetaran. Ia memantik korek api itu dan membakar gedung sekolah. Menghanguskan semua anak-anak itu. Jeritan kesakitan terdengar dimana-mana. Aku berlari menjauh.
***
Andini bangkit dan berlari cepat, berlari menjauh. Mereka menatapnya dari jauh. Terkadang Andini terjatuh. Ia bangkit lagi. Hingga akhirnya Ia sampai di jalan besar menuju sekolah. Ia berlari dan berlari hingga akhirnya sampai di sekolah. Pandangannya benar-benar sudah kabur, beberapa anak berseragam SMP berlari menghampirinya. Seseorang memegang tangannya, suara-suara mereka terdengar tidak jelas.
Jam sepuluh pagi, Wakil kepala sekolah mengantar Andini pulang naik sepeda motor.
“Istirahat dulu Bapak!” Ucap ibu pada Wakil kepala sekolah itu.
“Tidak apa-apa, Bu. Saya harus mengajar lagi. Cepat sehat yah, Andini!” jawab wakil kepala sekolah.
Setelah motornya meninggalkan rumah. Ibu duduk menatap wajah Andini. “Apa yang terjadi Nak?” Ia bertanya.
Andini tidak menjawab.
“Andini, Apa yang terjadi?”
“Aku Arlini, Bu.” Jawab Andini.
“Maaaaaa....Aku di sini Maa.... Aku disini....” Aku berteriak sambil berusaha menyentuh ibuku, tapi ia tidak bisa melihatku.