Cerita horor tapi Romantis - Meita dan Ciko di Kereta
Namaku Meita dan aku kelas XI IPA 1. Aku bukan gadis yang populer di sekolah, juga bukan siswa yang pintar.
Bulan Oktober adalah bulan musim hujan. Aku sudah menduga kalau pagi ini hujan akan turun deras. Meskipun dingin, hujan tetap menguntungkan bila turun di hari senin pagi, artinya upacara ditiadakan.
Jam delapan pagi, aku duduk menyepi di kelas. Bukan karena kelas sepi tapi aku tidak terlalu suka ribut seperti siswa lain. Bukan karena tidak suka ribut sih, tapi karena tidak percaya diri saja.
Ciko adalah ketua kelas kami dan sekaligus menjadi ketua Osis. Dia cowok yang paling populer di sekolah, selain kaya dia juga tampan. Dalam bidang akademik, Ciko tidak perlu diragukan: Selain selalu juara satu umum, dia juga punya band, kapten team basket sekolah, dan satu-satunya siswa yang pernah terpilih menjadi anggota paskibra di Istana. Dia benar-benar sempurna, mungkin terlalu sempurna.
Tapi, dibalik semua kesempurnaan itu, Ciko bukan cowok yang baik. Maksudku dia cowok yang pemilih. Ia memilih siapa orang yang bisa berbicara dengannya, ia memilih semuanya dan harus sempurna sesuai dengan dirinya. Aku salah satu dari beberapa orang di kelas yang tidak boleh mengajaknya berbicara. Sebenarnya tidak akan dihukum bila tiba-tiba bertanya sesuatu atau menyapanya. Hanya saja ia tidak akan pernah menjawab. Jadi daripada malu mending tidak usah.
Udara semakin dingin. Guru pun belum masuk. Harusnya pelajaran pertama adalah Fisika. Tapi, mungkin guru itu sedang malas mengajar atau kebanjiran, siapa yang tahu?
Aku selalu memperhatikan Ciko yang sedang bercanda dengan murid populer lainnya. Anak itu tampak sangat baik bila berbicara dengan orang yang sama level dengannya. Ia murah tersenyum dan bicaranya lambat berwibawa, meskipun dia masih kelas dua SMA.
Tak sadar aku memperhatikannya terlalu lama. Hingga seorang temannya menunjuk aku sambil mencolek pinggang Ciko. Tentu saja mereka mengejek Ciko. “Seorang siswa kuper memandangimu!” Teriak seseorang.
Tapi, Ciko bisa menghindari ledekan itu, dia meludah di lantai saat menatap aku. Semua teman-temannya tertawa termasuk ceweknya yang juga sekelas dengan kami, Andini.
Malu sekali. Aku tidak kuat menjadi bahan perhatian mereka. Tatapan dan senyuman itu begitu merendahkan. Aku sudah tidak tahan. Aku harus ke kamar mandi untuk menenangkan diri. Aku pernah membaca sebuah artikel yang menuliskan bahwa mencuci tangan bisa meningkatkan kepercayaan diri. Aku ingin mempraktekkannya. Buru-Buru, aku bangkit dan langsung berlari.
Ternyata pada saat aku bangkit. Ciko juga sedang berjalan ke arah kursinya, ke belakang.
Aku tidak tahu siapa yang menabrak siapa. Tapi, kami berdua terjatuh. Aku belum sempat menarik nafas untuk membuang panik. Tiba-tiba, Ciko berteriak marah sambil menunjukkan handphone-nya di depan wajahku.
"Meita!!! Ponselku pecah. Ganti!" Bentaknya
Semua siswa langsung berkumpul mengelilingi aku yang masih duduk di lantai.
"Gak mungkin bisa Ciko. Sampai jual diri pun, mana bisa anak ini dapat duit 19 juta untuk ganti." Andini ikut marah. Dia mengambil ponsel dari tangan Ciko dan memperhatikannya. "Astaga benar-benar pecah ni LCDnya. Heh kau tahu gak ni Samsung harganya berapa?" Bentak Andini.
"Aduh maaf Ciko. Aku benar-benar tidak sengaja. Maaf! Maaf!" ucapku berulang kali.
"Aku mau bicara denganmu!" Ciko menarik kerah bajuku dan menarik aku ke luar kelas.
"Aku tahu kau orang miskin. Dan aku juga tidak akan tega minta ganti rugi. Begini saja, selama satu bulan ini, kau harus menjadi budakku. Kau harus membawa tas ku ke mobil setiap pulang sekolah. Setiap pagi kau sudah harus menunggu di gerbang untuk bersiap-siap membawa tasku. Apapun yang kuperintahkan selama sebulan ke depan harus kau turuti. Satu lagi, jangan berbicara denganku kecuali aku yang bertanya duluan."
Mulai hari itu, aku benar-benar menjadi budaknya. Aku membawa tasnya ke mobil atau ke mall bila dia ingin jalan-jalan bersama Andini. Aku mengikuti mereka dari belakang sambil membawa tas. Terkadang, ia memintaku mengikat tali sepatunya, mengerjakan tugasnya bila dia malas dan tidak masalah kalaupun bersalahan.
Setelah lebih dari seminggu menjadi budaknya. Ia memintaku untuk memegang tasnya sampai sore.
"Aku mau bertemu kawan lama di Kota Tua. Kau harus ikut! Nanti sore kau baru bisa pulang!"
Aku menganggukkan kepala.
Hari Rabu siang sekitar jam dua. Hujan langsung turun deras setelah kami sampai di stasiun kereta BNI Sudirman. Angin berhembus kencang. Dan matahari seolah tenggelam karena tertutup awan. Bahkan semua lampu di stasiun sudah menyala karena kurangnya cahaya. Selain itu, petir juga menyambar-nyambar.
Setelah menunggu setengah jam, kereta akhirnya muncul juga. Ciko naik duluan dan duduk di sebelah kanan. Aku duduk di depannya, di sebelah kiri. Mungkin karena masih siang dan juga sedang hujan kereta menjadi sepi. Selain aku dan Ciko tidak ada satu penumpang pun di gerbong yang sama.
Setelah Sampai di Manggarai, Seorang penumpang perempuan baru naik dan duduk di sebelah Ciko. Ciko tidak memperhatikan orang itu karena dia sibuk main game free fire. Aku tahu karena aku mendengar suaranya.
Aku juga tidak terlalu tertarik melihat penumpang itu. Tapi, saat mataku menatap wajahnya sekilas, aku jadi fokus ke wajahnya. Aku tidak yakin dengan penglihatanku. Kok kayaknya cewek yang duduk di dekat Ciko itu kayak punya satu mata saja yah? Hanya mata kiri! Sementara bagian kanannya kosong dan menyatu. Apakah penglihatanku saja atau dia itu cacat?
Saat aku sibuk berpikir, tiba-tiba saja wanita bertopi itu menatap intens wajahku, seperti marah karena aku memperhatikan wajahnya. buru-buru, aku membuang muka. Setelah satu menit, tak sengaja aku kembali menatap sekilas wajahnya. Keningku berkerut, tadi matanya satu dan sekarang ia sudah tidak punya mata. Jantungku berdenyut cepat, aku yakin ada sesuatu yang aneh dengan perempuan itu. Ini tidak mungkin hanya penglihatanku saja. Tadi, aku benar-benar melihat dia punya satu mata.
Lututku gemetar memperhatikan orang itu.
Sementara Ciko masih asik bermain game. Aku ingin memberitahu keanehan itu padanya tapi takut kalau dia akan marah.
Aku benar-benar pengen kencing sangking takutnya. Tiba-tiba saja perempuan itu mengangkat telapak tangan ke dekat mulut, ia memegang bola matanya dan memakannya sambil tersenyum kepadaku. Lalu, muncul dua bola mata di wajahnya. Mata itu putih semua tak ada hitamnya. Aku keringat dingin. Tanganku meremas-remas tas Ciko.
Sebelum kereta tiba di stasiun Gambir. Wanita itu tiba-tiba berdiri.
"Duluan yah Mas Mbak!" Dia menatap Ciko dan menyentuh pundak Ciko.
Ciko tentu saja tidak suka disentuh orang asing. Dia menatap marah wanita itu. Sementara aku hampir pingsan, semua cairan tubuhku seolah dihisap oleh ketakutan.
Sebelum kereta berhenti, Wanita itu kembali berbicara 'Duluan yah!" Lalu dia keluar lewat pintu yang belum terbuka dan menghilang dari pandangan mata.
"Aaaarg"
Ciko yang baru menyadari keanehan wanita itu berteriak, bangkit berdiri dan memeluk erat tubuhku. ia kencing di celana.
"Ciko! Tidak usah takut. Dia sudah pergi!"Bisikku. Ciko masih gemetaran ia tidak mau melepaskan tangannya dari tubuhku. ia menempel di dadaku seperti bayi. Aku mengambil ponselku dan diam-diam foto celananya yang basah pakai tangan kiriku.
Setelah kami sampai di kota tua. Aku melemparkan tasnya.
"Ciko lihat ini!" Aku menunjukkan fotonya yang memeluk aku dan juga fotonya kencing dicelana.
Dagu Ciko langsung bergetar, "Apaan ini bangsat?" Teriaknya marah. "Kurang ajar!" Ia menunjuk wajahku gemetaran. Lalu ia melemparkan ponselku ke tanah dan menginjaknya hingga hancur.
"Aku sudah back up semua foto itu ke google. Kalau kau tidak mau seluruh sekolah mengetahui hal ini. Mulai besok kau harus menemaniku belajar di rumah. Setiap hari kau harus duduk di kamarku sampai jam enam sore selama sebulan." Ucapku lembut. Lalu aku berjalan menjauh dari tempat itu.
Besoknya jam Tiga sore, Dia duduk di kasurku. Bila aku berkata, senyum, maka dia tersenyum. Terkadang, aku merasa beruntung telah melihat setan itu walaupun beberapa kali, aku bermimpi buruk melihatnya kembali.